Beranda | Artikel
Mengenal Allah, Tak Sesederhana Yang Dikira
Rabu, 2 April 2014

ma`rifat

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setiap insan tentu mendambakan kesenangan, kenikmatan, dan ketentraman. Semuanya ingin bahagia. Entah dia seorang pejabat, karyawan, anggota dewan, pemimpin perusahaan, atau bahkan pengangguran.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kebahagiaan yang diidam-idamkan orang itu ibarat fatamorgana. Dari jauh tampak seperti air, namun ketika didekati tidak ada apa-apanya. Buktinya, harta tidak serta-merta membuat orang bahagia. Demikian pula jabatan, kedudukan, popularitas, dan ketampanan atau kecantikan. Padahal, kita bisa melihat jutaan bahkan milyaran manusia bekerja keras demi menumpuk dan ‘mengarungi’ [memasukkan ke dalam karung] kenikmatan-kenikmatan dunia.

Sementara apabila kita menyimak dan menelusuri kisah dan perjalanan hidup generasi terdahulu yang salih, kita akan temukan bahwa kebahagiaan yang mereka rasakan tumbuh dan berakar dari mengenal Allah ta’ala.

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah keluar meninggalkan dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik/paling lezat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya, “Wahai Abu Yahya -panggilan beliau-, apakah itu?” Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Orang yang mengenal Allah, maka dia akan melihat bahwa segala kenikmatan dan kemudahan/fasilitas hidup yang dia peroleh di dunia ini adalah bersumber dari Allah semata, sehingga dia merasa terpanggil untuk menunaikan syukur kepada Allah. Bahkan ia akan menjadikan syukur itu sebagai agenda tetap dan program rutin yang selalu mewarnai segala gerak-gerik dan tingkah-lakunya.

Hakikat syukur itu -sebagaimana dijelaskan para ulama- adalah dengan menaati al-Mun’im/Dzat yang memberikan nikmat. Beramal salih itulah hakikat dari syukur. Selain dengan pengakuan di dalam hati bahwa nikmat itu berasal dari-Nya dan memuji Allah atas segala karunia.

Orang yang mengenal Allah, maka dia akan memandang bahwa segala bencana dan musibah adalah dengan takdir dan hikmah dari Allah. Oleh sebab itu dia akan menempa hatinya untuk sabar atas musibah, ridha dengan perbuatan Allah, dan mengharapkan pahala atas musibah yang menimpa dirinya. Karena dia ingat, bahwa dengan musibah akan terhapus dosa-dosa, dan dengan musibah pula manusia akan terdorong untuk kembali bertaubat kepada-Nya.

Memang sabar itu terasa berat atau pahit, namun sebagaimana kata penyair, bahwa ‘buahnya lebih manis daripada madu’. Sabar akan membuahkan pahala berlipat ganda yang tak terbatas jumlahnya. Sabar akan membuahkan kecintaan Allah. Dan sabar pula yang menjadi sebab orang beriman masuk ke dalam surga.

Orang yang mengenal Allah, maka dia akan melihat bahwa amal dan ketaatan yang dia lakukan adalah anugerah dan taufik dari Allah kepada dirinya. Oleh sebab itu, dia tidak akan merasa hebat, merasa besar, atau merasa berjasa dengan amal salih yang dilakukannya. Sebab itu semua adalah berkat taufik dari-Nya, bukan karena kemampuan dan kepandaian dirinya semata.

Bahkan, lebih daripada itu, dia menyadari bahwa amal yang dilakukannya teramat sangat jauh dari sempurna. Ia melihat bahwa ketaatan yang dia kerjakan penuh dengan cacat dan kekurangan. Ia pun bermuhasabah dan berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan al-Bashri rahimahullah, “Seorang mukmin memadukan antara ihsan/berbuat baik dan rasa takut.”

Orang yang mengenal Allah itu berjalan menuju Allah diantara ‘dua sayap’ yaitu musyaahadatul minnah -menyaksikan curahan nikmat- dan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal -menelaah aib diri dan amalan-, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya al-Wabil ash-Shayyib.

Oleh sebab itu di dalam doa sayyidul istighfar, kita diajarkan untuk membaca doa -yang diantaranya adalah- ‘abuu’u laka bi ni’matika ‘alayya wa abuu’u bi dzanbii fahgfirlii’ [aku mengakui kepada-Mu atas segala nikmat-Mu kepadaku, dan aku akui segala dosaku, oleh sebab itu ampunilah aku]. Di dalam kalimat ini terkandung dua unsur tersebut, yaitu mengakui curahan nikmat dan menyadari segala dosa dan kekurangan diri kita.

Dari sinilah, kita mengetahui betapa indah dan pentingnya doa yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di bagian awal risalah beliau al-Qawa’id al-Arba’, dimana beliau berkata, “Semoga Allah menjadikanmu diberkahi dimana pun kamu berada. Dan semoga Allah jadikan kamu orang yang jika diberi bersyukur, jika ditimpa musibah bersabar, dan jika berbuat dosa beristighfar. Karena sesungguhnya ketiga hal itu adalah pertanda kebahagiaan.”

Oleh sebab itu pula, sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya maka dia tidak akan masuk ke surga di akhirat. Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla dan beribadah kepada-Nya.”

Hakikat mengenal Allah itu adalah mentauhidkan Allah. Oleh sebab itu sebagian ulama menafsirkan ayat “kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” dengan “supaya mereka mengenal/ma’rifat kepada-Ku”. Mengenal Allah yaitu dengan beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya, meyakini nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang suci dan mulia, dan tunduk kepada ajaran-ajaran-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama [yang benar], dan Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Orang yang mengenal Allah selalu merasa diawasi oleh-Nya, di mana pun ia berada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang makna ihsan, “Yaitu kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika kamu tidak -bisa beribadah seolah-olah melihat-Nya- maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Orang yang mengenal Allah akan melihat dunia sebagaimana mestinya dan menjadikan akhirat sebagai target dan tujuan hidupnya. Sebagaimana syair yang dinukil oleh Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam mukadimah kitabnya Riyadhush Shalihin :

Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba cendekia

Mereka ceraikan dunia, dan takut akan fitnah/keburukannya

Mereka lihat apa-apa yang ada di dalamnya

Tatkala mereka sadar, bahwa dunia bukan tempat hidup selamanya

Mereka pun ‘menyulap’ dunia menjadi samudera

Dan mereka gunakan amal-amal salih sebagai bahtera

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pun berkata, “Jadilah kalian anak-anak pengejar akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak-anak pemuja dunia.”

Mengenal Allah, bukan semata-mata mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, yang mengatur alam, yang menghidupkan dan mematikan. Lebih daripada itu, mengenal Allah adalah dengan berdoa kepada-Nya semata, memohon pertolongan dan perlindungan kepada-Nya semata, berkurban dan bernadzar untuk-Nya semata, dan melakukan amalan demi mengharap wajah-Nya, bukan karena riya’ dan semacamnya. Termasuk dalam mengenal Allah adalah sabar dalam menghadapi takdir-Nya yang terasa pahit dan menyakitkan. Termasuk dalam mengenal Allah adalah mensyukuri segala nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kita.

Orang yang mengenal Allah akan menjadikan kecintaannya kepada Allah di atas kecintaan kepada segala sesuatu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara yang barangsiapa memilikinya dia akan merasakan manisnya iman. Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. Apabila dia mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak suka dilempar ke dalam api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tanda kecintaan kepada Allah itu adalah senantiasa berdzikir kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya. Dengan dzikir kepada Allah itulah hatinya menjadi hidup dan tentram. Dengan ketaatan kepada rasul itulah dia akan mendapatkan limpahan rahmat dari-Nya.

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Hakikat dzikir itu adalah ketaatan kepada Allah. Maka barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya, itu artinya dia bukanlah orang yang berdzikir, meskipun dia banyak membaca tasbih, tahlil, dan bacaan al-Qur’an.”

Oleh sebab itu orang-orang Khawarij dicela oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena bacaan al-Qur’an mereka ‘tidak melampaui kerongkongan mereka’. Mereka ahli ibadah namun tidak tegak di atas ilmu dan manhaj yang lurus. Oleh sebab itu mereka itu ‘keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah menembus sasarannya’ sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dzikir yang hakiki adalah yang membuahkan ketaatan kepada Allah, dzikir yang sesuai antara apa yang diucapkan dengan lisan dengan apa yang tertanam di dalam hati. Oleh sebab itu pula Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk men-tadabburi al-Qur’an dan tidak meninggalkan/meng-hajr al-Qur’an.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apakah yang terjadi pada ikan jika ia dipisahkan dari air?”


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-allah-tak-sesederhana-yang-dikira/